Breaking News
Loading...
Saturday, October 20, 2012

Bekal Dai

5:04 AM
Bekal-Bekal Para Dai

Alloh Azza wa Jalla di dalam firman-Nya :
وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS al-Baqoroh : 197).
Maka, bekal bagi tiap muslim adalah bertakwa kepada Alloh Azza wa Jalla, yang mana Alloh telah berulang kali menyebutkan takwa di dalam Al-Qur`an dan memerintahkannya, memuji orang yang melaksanakannya dan menjelaskan pahalanya, dan selainnya, diantaranya adalah firman-Nya :
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَـوَتُ وَالاَْرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُنفِقُونَ فِى السَّرَّآءِ وَالضَّرَّآءِ وَالْكَـاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَـافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَـاحِشَةً أَوْ ظَلَمُواْ أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُواْ اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُواْ لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّواْ عَلَى مَا فَعَلُواْ وَهُمْ يَعْلَمُونَ * أُوْلَـئِكَ جَزَآؤُهُمْ مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّـتٌ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا الاَْنْهَـرُ خَـالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَـامِلِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka Mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.” (QS al-Baqoroh : 133-136)
Menurut Tholq bin Habib rahimahullahu, beliau mengatakan :
التقوى أن تعمل بطاعة الله، على نور من الله، ترجو ثواب الله
“Takwa adalah, anda mengamalkan ketaatan kepada Alloh, di atas cahaya dari Alloh dan mengharap pahala Alloh.”
Di dalam ucapan ini, terhimpun sifat : (1) ilmu, (2) amal, (3) mengharap pahala dan (4) takut akan siksa-Nya, maka inilah yang dimaksud dengan takwa itu.
Sesungguhnya kita semua mengetahui, bahwa seorang dai yang menyeru kepada Alloh Azza wa Jala, adalah manusia yang paling utama untuk berhias dengan karakteristik ini, bertakwa kepada Alloh di saat bersendirian maupun di hadapan manusia. Saya akan menyebutkan -dengan pertolongan AllohAzza wa Jalla- pada kesempatan ini, hal-hal yang berkaitan dengan seorang da’i dan bekal-bekal yang sepatutnya seorang da’i mempersiapkannya.
BEKAL PERTAMA : BERILMU
Saudaraku sekalian, sesungguhnya berdakwah ke jalan Alloh tanpa diiringi dengan ilmu itu menyelisihi tuntunan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam dan orang yang mengikuti beliau. Dengarkanlah firman AllohTa’ala yang memerintahkan Nabi-Nya Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam dalam firman-Nya berikut :
قُلْ هَـذِهِ سَبِيلِى أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَاْ وَمَنِ اتَّبَعَنِى وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَآ أَنَاْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata). Maha Suci Allah, dan Aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.” (QS Yusuf : 108)
Firman-Nya : ” Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah di atas bashiroh (hujjah yang nyata)”, artinya adalah : orang yang mengikuti beliau Shallallahu ’alaihi wa Salam, wajib atasnya berdakwah mengajak kepada Alloh di atas bashiroh, tidak di atas kejahilan.
Renungkanlah wahai para da’i firman Alloh ”di atas bashiroh”, yaitu di atas bashiroh pada tiga hal :
Pertama : di atas bashiroh terhadap apa yang di dakwahkan, yaitu ia haruslah memiliki ilmu tentang hukum syar’i yang ia dakwahkan. Karena bisa jadi ia mengajak kepada sesuatu yang ia duga sebagai suatu hal yang wajib sedangkan di dalam syariat tidaklah wajib, sehingga ia mengharuskan hamba-hamba Alloh sesuatu yang Alloh tidak mengharuskannya. Bisa jadi pula ia mengajak untuk meninggalkan sesuatu yang ia anggap haram sedangkan hal itu di dalam agama Alloh tidaklah haram, sehingga ia telah mengharamkan bagi hamba-hamba Alloh sesuatu yang Alloh halalkan bagi mereka.
Kedua : di atas bashiroh terhadap kondisi dakwah, oleh karena itulah Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam tatkala mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan padanya :
إنك ستأتي قوماً أهل كتاب
”Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab”1
Supaya dia (Mu’adz) mengetahui kondisi mereka dan bersiap-siap di dalam menghadapi mereka.
Oleh karena itulah kondisi mad’u (obyek dakwah) ini haruslah diketahui, sejauh mana tingkat pengetahuan mereka? Sejauh mana kemampuan mereka untuk debat? Sehingga ia dapat mempersiapkan dirinya untuk berdiskusi dan berdebat dengan mereka. Karena sesungguhnya, apabila anda memasuki perdebatan dengan orang seperti ini, sedangkan dia lebih tangguh di dalam berdebat, maka hal ini akan menjadi bencana yang besar terhadap kebenaran, dan andalah penyebab ini semua.
Ketiga : di atas bashiroh di dalam cara berdakwah. Alloh Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَـدِلْهُم بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS an-Nahl : 125).
Sebagian manusia, acap kali ketika menjumpai suatu kemungkaran, ia langsung terburu-buru main sikat. Ia tidak berfikir akan dampak dan akibat perbuatannya ini, tidak hanya bagi dirinya, namun juga bagi dirinya dan rekan seperjuangannya sesama da’i yang menyeru kepada kebenaran. Oleh karena itulah, wajib bagi seorang da’i sebelum ia bergerak (untuk berdakwah), hendaknya ia mencermati dan menimbang dampak-dampaknya. Kadang kala, dapat juga terjadi pada waktu itu, sesuatu yang tidak hanya akan memadamkan kobaran semangat atas aktivitasnya, namun perbuatannya ini juga akan memadamkan api semangatnya dan semangat orang selainnya di masa yang akan datang, mungkin dalam waktu dekat tidak lama lagi. Oleh karena itulah, kami menganjurkan saudara-saudaraku agar berdakwah dengan menggunakan hikmah, suatu perkara yang mungkin akan menunda waktu barang sedikit, namun hasilnya akan terpuji dengan kehendak Alloh Ta’ala.
Apabila hal ini, maksudku da’i yang berbekal dengan ilmu shahih yang dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam, merupakan sesuatu yang ditunjukkan oleh nash-nash syar’iyyah, maka sesungguhnya (hal ini) juga ditunjukkan oleh akal yang sharih (terang) yang tidak memiliki syubhat maupun syahwat. Karena bagaimana mungkin anda dapat berdakwah menyeru kepada Alloh Jalla wa ’Ala sedangkan anda tidak mengetahui jalan yang dapat mengantarkan kepada-Nya. Anda tidak mengetahu syariat-Nya lantas bagaimana bisa dibenarkan anda menjadi seorang da’i? Apabila seorang manusia tidak memiliki ilmu, maka yang utama baginya adalah belajar terlebih dahulu, baru kemudian ia boleh berdakwah.
Mungkin akan ada yang berkata : ”Bukankah ucapan anda ini menyelisihi ucapan Nabi Shallallahu ’alaihi wa Salam :
بلغوا عني ولو آية
”Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.”3
Maka kami jawab : tidak. Karena Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Salam bersabda : ”Sampaikan dariku”, oleh karena itulah sesuatu yang kita sampaikan haruslah benar-benar dari RasulullahShallallahu ’alaihi wa Salam. Dan inilah yang kami maksudkan. Pada saat kami mengatakan bahwa da’i itu memerlukan ilmu, kami bukanlah memaksudkan bahwa ia haruslah mencapai tingkatan orang yang ahli di dalam ilmu, namun kami mengatakan bahwa ia tidak boleh berdakwah melainkan dengan apa yang ia ketahui saja dan tidak boleh berkata melainkan dengan yang ia ketahui.
BEKAL KEDUA : SABAR
Seorang da’i haruslah bersabar di atas dakwahnya, sabar atas apa yang ia dakwahkan, sabar terhadap orang yang menentang dakwahnya dan sabar atas segala aral rintangan yang menghadangnya.
Seorang da’i haruslah bersabar dan berupaya menetapi kesabaran di dalam berdakwah, jangan sampai ia berhenti atau jenuh, namun ia harus tetap terus berdakwah ke jalan Alloh dengan segenap kemampuannya. Terlebih di dalam kondisi dimana berdakwah akan lebih bermanfaat, lebih utama dan lebih tepat, maka ia haruslah benar-benar bersabar di dalam berdakwah dan tidak boleh jenuh, karena seorang manusia apabila dihinggapi kejenuhan maka ia akan letih dan meninggalkan (dakwah). Akan tetapi, apabila ia menetapi kesabaran di atas dakwahnya, maka ia akan meraih pahala sebagai orang-orang yang sabar di satu sisi, dan di sisi lain ia akan mendapatkan kesudahan yang baik.
Dengarkanlah firman Alloh Azza wa Jalla yang menyeru Nabi-Nya :
تِلْكَ مِنْ أَنْبَآءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَآ إِلَيْكَ مَا كُنتَ تَعْلَمُهَآ أَنتَ وَلاَ قَوْمُكَ مِن قَبْلِ هَـذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَـقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ
Itu adalah di antara berita-berita penting tentang hal yang ghaib yang kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. Maka bersabarlah; Sesungguhnya kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Huud : 49)
Seorang manusia (baca : da’i) tetaplah harus bersabar atas segala hal yang merintangi dakwahnya berupa sanggahan-sanggahan dan bantahan-bantahan, karena setiap manusia yang menjadi seorang da’i di jalan Alloh azza wa Jalla pastilah akan menghadapi rintangan :
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوّاً مِّنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِياً وَنَصِيراً
Dan seperti itulah, Telah kami adakan bagi tiap-tiap nabi, musuh dari orang-orang yang berdosa. dan cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS al-Furqon : 31)
Setiap dakwah yang benar, pastilah akan menghadapi orang yang merintangi, menghalangi, membantah dan menebarkan keragu-raguan. Namun, wajiblah bagi seorang da’i bersabar menghadapi segala sesuatu yang merintangi dakwahnya. Meskipun dakwahnya disifati dengan dakwah yang salah atau batil, sedangkan ia mengetahui bahwa dakwahnya itu berasal dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, maka ia tetaplah harus bersabar.
Jadi, segala hal yang merintangi dakwah anda wahai para da’i, apabila hal itu benar maka wajib bagi anda kembali kepada kebenaran tersebut, dan apabila batil maka jangan sampai tekad anda dibelokkan dari tujuan semula pada dakwah anda.
Demikian pula, seorang da’i haruslah bersabar atas segala aral rintangan yang menghadang, karena seorang da’i itu dia pastilah akan dihalang-halangi baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan. Lihatlah para Rasul Sholawatullah wa Salamuhu ‘alaihim yang dihalang-halangi dengan perkataan dan perbuatan, bacalah firman Alloh Azza wa Jalla :
كَذَلِكَ مَآ أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ مِّن رَّسُولٍ إِلاَّ قَالُواْ سَـحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila.” (QS adz-Dzaariyaat : 51)
Dan lihatlah penutup dan imam para nabi, penghulu anak cucu Adam, Muhammad Shallallahu ’alaihi was Salam. Alloh berfirman tentang beliau :
يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُواْ لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَـكِرِينَ
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS al-Anfaal : 30)
وَيَقُولُونَ أَءِنَّا لَتَارِكُو ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرٍ مَّجْنُونٍ
Dan mereka berkata: Apakah Sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami Karena seorang penyair gila?.” (QS ash-Shaaffaat : 36).
Beliaupun menghadapi gangguan-gangguan berupa perkataan maupun perbuatan, yang mana hal ini telah diketahui oleh para ulama di dalam buku-buku Tarikh (Sejarah) dan kesudahan yang baik adalah bagi beliau.
Jadi, setiap da’i pastilah akan menemui gangguan, namun ia haruslah dapat bersabar menghadapinya.
BEKAL KETIGA : HIKMAH
Seorang da’i haruslah menyeru kepada Alloh dengan hikmah. Dan alangkah pahitnya orang yang tidak memiliki hikmah. Dakwah ke jalan Alloh itu haruslah dengan : (1) hikmah, (2) mau’izhah hasanah(pelajaran yang baik), (3) berdebat dengan cara yang lebih baik kepada orang yang tidak zhalim, kemudian (4) berdebat dengan cara yang tidak lebih baik kepada orang yang zhalim. Jadi, tingkatan ini ada empat. Alloh Ta’ala berfirman :
ادْعُ إِلِى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَـادِلْهُم بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS an-Nahl : 125)
Dan firman-Nya :
وَلاَ تُجَـادِلُواْ أَهْلَ الْكِتَـبِ إِلاَّ بِالَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِلاَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنْهُمْ وَقُولُواْ ءَامَنَّا بِالَّذِى أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَـهُنَا وَإِلَـهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
Dan janganlah kamu berdebat denganAhli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zalim di antara mereka, dan Katakanlah: Kami Telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami Hanya kepada-Nya berserah diri.” (QS al-Ankabuut : 49)
Sesungguhnya hikmah itu adalah : menetapkan suatu perkara secara mantap dan tepat, dengan cara menempatkan suatu perkara pada tempatnya dan mendudukkan suatu perkara pada kedudukannya. Bukanlah termasuk hikmah apabila anda tergesa-gesa dan menginginkan manusia akan berubah keadaannya dari keadaan mereka sebelumnya menjadi seperti keadaan para sahabat hanya dalam sehari semalam.
 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam  telah memberikan contoh berdakwah dengan hikmah, diantaranya:
Ketika seorang pria badui datang dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sedang duduk-duduk dengan sahabat-sahabat beliau di Masjid. Kemudian Badui itu kencing di salah satu sisi dalam Masjid, maka para sahabatpun mencercanya, yaitu menghardiknya dengan keras. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam yang telah Alloh anugerahkan kepada beliau al-Hikmah melarang mereka. Setelah Badui itu menyelesaikan kencingnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan untuk menyiram kencingnya dengan satu ember air. Mafsadat (kerusakan) pun sirna lalu RasulullahShallallahu ‘alaihi wa Salam memanggil Badui tersebut dan berkata padanya :
إن هذه المساجد لا يصلح فيها شيء من الأذى أو القذر إنما هي للصلاة وقراءة القرآن
“Sesungguhnya masjid-masjid ini tidak selayaknya di dalamnya ada sesuatu dari gangguan dan kotoran, sesungguhnya masjid itu hanyalah untuk sholat dan membaca al-Qur`an.”1 Atau sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Maka menjadi lapanglah dada si Badui tersebut disebabkan oleh muamalah yang baik ini. Oleh karena itulah aku melihat sebagian ulama menukilkan ucapan Badui ini yang mengatakan:
اللهم ارحمني ومحمداً ولا ترحم معنا أحداً
“Ya Alloh rahmatilah aku dan Muhammad dan janganlah Engkau merahmati seorangpun selain kami.”
Karena Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Salam telah mensikapinya dengannya dengan sikap yang baik. Adapun para sahabat ridhwanullah ‘alaihi, mereka tergesa-gesa untuk menghilangkan kemungkaran, tanpa mempertimbangkan keadaan orang yang jahil.
Yang penting, wajib bagi da’i untuk berdakwah ke jalan Alloh Azza wa Jalla dengan hikmah dan tidaklah sama antara orang jahil dengan orang berilmu, antara orang yang menentang dengan orang yang menerima. Setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada kondisinya tersendiri.
BEKAL KEEMPAT : AKHLAK YANG MULIA
Seorang da’i haruslah berperangai dengan akhlak yang mulia, dimana ilmunya tampak terefleksikan di dalam aqidah, ibadah, perilaku dan semua jalan hidupnya, sehingga ia dapat menjalankan peran sebagai seorang da’i di jalan Alloh. Adapun apabila ia dalam keadaan sebaliknya, maka sesungguhnya dakwahnya akan gagal, sekiranya sukses maka kesuksesannya sedikit.
Wajib bagi da’i mengamalkan apa yang ia dakwahkan, baik berupa ibadah, mu’amalah, akhlak dansuluk (sifat/karakter), sehingga dakwahnya diterima dan ia tidak termasuk orang yang pertama kali dilemparkan ke dalam neraka.
Sesungguhnya ketika kita memperhatikan keadaan kita, kita dapati dalam realita bahwa kadang kala kita berdakwah mengajak kepada sesuatu namun kita tidak mengamalkannya, tidak ragu lagi bawa hal ini merupakan aib yang besar. Melainkan ada pandangan yang merintangi antara kita dengan dirinya kepada sesuatu yang lebih baik, karena setiap tempat memiliki ucapan tersendiri.
Maka sesuatu yang utama, terkadang menjadi lebih diutamakan disebabkan oleh sejumlah hal yang menjadikannya lebih rajih (kuat) keutamaannya. Oleh karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengajak kepada beberapa karakteristik namun acap kali pula beliau menyibukkan diri dengan sesuatu yang lebih penting darinya. Suatu saat beliau akan berpuasa sampai dikatakan beliau tidak akan berbuka, dan pada saat lain beliau akan berbuka sampai dikatakan beliau tidak akan berpuasa.
Merupakan modal awal yang sangat penting apabila da’i berperangai dengan akhlak yang pantas bagi seorang da’i, sehingga ia dapat menjadi seorang da’i yang sejati dan perkataannya dapat lebih mudah untuk diterima.
BEKAL KELIMA : MENGHANCURKAN PENGHALANG ANTARA DIRINYA DENGAN MAD’U
Seorang da’i haruslah menghancurkan penghalang antara dirinya dengan manusia. Hal ini disebabkan karena banyak saudara-saudara kita para du’at, apabila melihat suatu kaum melakukan kemungkaran, mereka terlalu ghirah (cemburu/semangat) dan benci terhadap kemungkaran tersebut sehingga mereka tidak mau pergi menemui kaum tersebut dan menasehati mereka. Hal ini adalah suatu kesalahan dan bukanlah termasuk hikmah sama sekali. Bahkan yang termasuk hikmah apabila anda pergi mendakwahi mereka, menyampaikan motivasi dan peringatan, dan janganlah anda sekali-kali mengatakan bahwa mereka adalah orang fasik dan tidak mungkin aku akan berjalan dengan mereka.
Apabila anda wahai da’i Muslim, tidak mau berjalan bersama mereka dan tidak mau pergi menemui untuk mendakwahi mereka, lantas siapa yang bertanggung jawab terhadap mereka? Apakah salah seorang dari mereka yang mengambil tanggung jawab ini? Ataukah kaum yang tidak berilmu yang mengambil tanggung jawab ini? Sama sekali tidak! Oleh karena itu sepatutnyalah seorang da’i mau untuk bersabar, dan hal ini termasuk kesabaran yang telah kami terangkan sebelumnya. Ia harus bersabar dan membenci perbuatan tersebut, namun ia tetap haruslah menghancurkan penghalang antara dirinya dan manusia sehingga ia menjadi mantap di dalam menyampaikan dakwahnya kepada mereka yang membutuhkan kepada dakwah.
Adapun apabila ia bersikap congkak, maka ini menyelisihi apa yang dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagaimana telah diketahui, beliau pernah pergi menemui kaum musyrikin di tempat kediaman mereka, menyeru mereka kepada Alloh. Hal ini telah disebutkan dari beliau bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
ألا أحد يحملني حتى أبلغ كلام ربي فإن قريشاً منعتني أن أبلغ كلام ربي
“Adakah salah seorang yang mau membawaku sehingga aku akan menyampaikan ucapan Rabb-ku, karena kaum Quraisy telah mencegahku dari menyampaikan ucapan Rabb-ku”1
Apabila sedemikian ini keteguhan Nabi, imam dan tauladan kita, Muhammad Shallallahu ’alaihi wa Salam, maka tentulah wajib pula bagi kita untuk meniru beliau di dalam dakwah ke jalan Alloh.
BEKAL KEENAM : LAPANG DADA TERHADAP PERSELISIHAN
Seorang da’i haruslah berlapang dada terhadap orang yang menyelisihinya, apalagi jika diketahui bahwa orang yang menyelisihinya itu memiliki niat yang baik dan ia tidaklah menyelisihinya melainkan dikarenakan ia belum pernah mendapatkan dirinya ditegakkan hujjah kepadanya. Selayaknya seseorang bersikap fleksibel di dalam masalah ini, dan janganlah ia menjadikan perselisihan semisal ini berdampak pada permusuhan dan kebencian. Kecuali seorang yang menyelisihi karena menentang, padahal telah diterangkan padanya kebenaran dan ia tetap bersikeras di atas kebatilannya. Apabila demikian keadaannya, maka wajib mensikapinya dengan sesuatu yang layak baginya berupa menjauhkan dan memperingatkan ummat dari dirinya. Karena permusuhannya telah jelas dan telah diterangkan padanya kebenaran namun ia tidak mau mengapresiasikannya.
Ada permasalahan furu’iyyah yang diperselisihkan manusia, dan hal ini pada hakikatnya termasuk sesuatu yang Alloh memberikan kelapangan kepada hamba-hamba-Nya adanya perselisihan di dalamnya. Yang saya maksud adalah permasalahan yang bukan termasuk ushul (pokok) yang dapat mengantarkan kepada pengkafiran bagi yang menyelisihinya. Maka masalah ini termasuk perkara yang Alloh memberikan keluasan di dalamnya bagi hamba-hamba-Nya dan adanya kesalahan di dalamnya dimaafkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda :
إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإن أخطأ فله أجر واحد
“Apabila seorang hakim berijtihad lalu ia benar maka ia mendapatkan dua pahala, namun apabila ia tersalah maka mendapatkan satu pahala.”
Seorang mujtahid, ia tidak akan keluar dari cakupan pahala selamanya, bisa jadi ia mendapatkan dua pahala apabila ia benar dan bisa jadi satu pahala apabila ia tersalah.
Apabila anda tidak menginginkan ada orang selain anda yang menyelisihi anda, demikian pula dengan orang lain, ia juga tidak menginginkan ada orang lainnya yang menyelisihinya. Sebagaimana pula anda menghendaki supaya manusia mau menerima pendapat anda maka orang yang menyelisihi anda pun juga ingin supaya pendapat mereka diterima.
Maka, tempat kembali ketika terjadi perbedaan pendapat, telah Alloh Azza wa Jalla terangkan di dalam firman-Nya :
 وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَىْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبِّى عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (yangmempunyai sifat-sifat demikian) Itulah Allah Tuhanku. kepada-Nya lah Aku bertawakkal dan kepada-Nyalah Aku kembali.” (QS asy-Syuuro : 10)

0 comments:

Post a Comment

Terima Kasih sudah mengunjungi blog ini, berkomentarlah dengan sopan dan baik tanpa ada cacian dan hinaan.
PERHATIAN!
- NO Sara
- NO Pornografi
- NO Spam !!! [Komentar menyertakan link aktif akan otomatis terdelet

Salam Sukses @hafizhq

 
Toggle Footer